MENGHARAPKAN GENERASI EMAS MELALUI
KIPRAH GURU
(Wurdono : Jakarta)
Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2012,
Mendikbud telah menyatakan bahwa kurun waktu 2010 hingga 2035 bangsa Indonesia akan
dianugerahi karunia sumber daya manusia, berupa populasi usia produktif yang
jumlahnya besar. Jika kesempatan emas yang baru pertama kalinya terjadi sejak
Indonesia merdeka tersebut, dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik,
populasi usia produktif tersebut, maka
akan menjadi bonus demografi yang sangat berharga.
Perlu ada upaya sistematis dan terencana agar penduduk
dengan populasi usia produktif yang
besar tersebut menjadi keunggulan bangsa Indonesia di mata dunia.
Perlu keberpihakan pengambil kebijakan dalam mengalokasikan sumber daya agar
berpihak kepada program untuk mempersiapkan generasi muda agar menjadi generasi
yang terdidik, cakap, terampil, dan memiliki etos dan sikap hidup yang baik. Dalam
situasi sekarang ini, persaingan semakin tajam. Dalam persaingan ada pihak yang
menang dan ada yang kalah meskipun akhirnya ada “win-win solution” namun tetap
saja ada perbedaan antara yang memenangkan persaingan dengan yang tidak mampu
bersaing. Pemenang persaingan adalah mereka yang memiliki kompetensi yang
cukup. Sebuah bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mencetak SDM yang
kompeten yang akan memenangkan persaingan. Apalagi jelang 100 tahun kemerdekaan
Republik Indonesia di mana populasi penduduknya mayoritas adalah usia
produktif, jika usia produktif ini kurang kompeten maka malapetaka akan
ditanggung oleh bangsa kita. Lalu bagaimanakah kondisi bangsa kita sekarang?
Kondisi Faktual
Hingga saat
ini patut prihatin menyaksikan kondisi bangsa Indonesia. Berdasarkan pengamatan
dalam berbagai aspek, kondisi faktual bangsa kita saat ini dapat dilihat dari
kondisi berikut ini : (1) Generasi yang daya
imajinasi idealistiknya rendah;
(2) Angkatan kerja yang tidak siap
berkompetisi di era global;
(3) Birokrasi yang lamban, korup, tidak kreatif; (4) Pelaku ekonomi yang tidak siap
bermain fair & apa adanya; (5) Masyarakat yang
mudah bertindak anarkis; (6)
Sumber daya
alam (khususnya hutan) yang
rusak parah; (7) Cendekiawan
yang hipokrit; (8) Hutang luar
negeri yang tak tertanggungkan; (9) Semakin
banyaknya tokoh/pemimpin yang rendah moral; (10) Ego
kedaerahan yang meluas di kalangan masyarakat.
Kondisi ini mengisyaratkan kearah potensi
“kekalahan” dalam kompetisi global. Kondisi ini adalah buah dari sebuah proses
panjang pendidikan bangsa ini yang tidak lahir begitu saja. Kondisi ini dibentuk
oleh sebuah proses pendidikan formal, non formal, dan informal, yang tumbuh dari akumulasi nilai-nilai local
dan pengaruh budaya dunia, mengkristal menjadi sebuah kebiasaan sehingga
berwujud menjadi perilaku dan budaya .
Memperbaiki kondisi ini menjadi tugas bersama pengelola
bangsa Indonesia, terutama para guru sebagai agen perubahan dan leading sector
dalam pendidikan nasional, yang diberi amanah mendidik anak bangsa sebagaimana
yang diamanahkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Upaya mencetak
genarasi bangsa ini terletak pada pundak para pendidik khususnya guru, meskipun orang tua peserta didik dan
masyarakat juga memiliki tanggungjawab yang tidak kalah besar. Guru Indonesia
yang telah menjadi pekerjaan profesi bertanggungjawab penuh terhadap masa depan
pendidikan dan generasi bangsa Indonesia. Guru Indonesia menghadapi tantangan
sekaligus peluang yang sama besarnya.
Bagaimana Mempersiapkan Generasi?
Melalui berbagai penelitian para
ahli pendidikan dan psikologi bahwa keberhasilan seseorang pada umumnya tidak
ditentukan oleh kecerdasan intelegensi semata, bahkan lebih banyak ditentukan
oleh kecerdasan emosionalnya. Daniel Goleman, menyebutkan bahwa keberhasilan seseorang dalam
hidup 20% ditentukan oleh kecerdasan inteligensinya (IQ) dan 80% ditentukan
oleh kecerdasan emosionalnya (EQ). Faktanya banyak tamatan sebuah
sekolah/perguruan tinggi yang ketika sekolah/kuliah nilai akademisnya bagus
ternyata ketika berkarir tidak lebih bagus ketimbang tamatan yang nilai
akademisnya sedang-sedang saja.
Dalam konteks percaturan dunia, secara umum kita melihat bahwa bangsa yang
maju bukan ditentukan oleh kekayaan Sumber Daya Alamnya, umur bangsanya, agama
bangsanya, warna kulitnya, atau bukan pula oleh kecerdasannya. Ternyata bangsa
yang maju lebih banyak ditentukan oleh sikap hidup bangsanya, oleh etos kerja
bangsanya.
Sikap/perilaku
bangsa sebuah negara dibentuk oleh sikap/perilaku masyarakatnya yang dibentuk
sepanjang masa melalui pendidikan dan kebudayaan. Sikap hidup negara maju pada umumnya
mengikuti prinsip-prinsip kehidupan yang kondusif, seperti : (1) etika dalam
hidup sehari-hari, (2) kejujuran dan integritas, (3) tanggung jawab, (4)
memiliki etos kerja yang tinggi, (5) mencintai pekerjaan, (6) hormat pada
aturan dan hukum masyarakat, (7) hormat pada hak orang lain, (8) memiliki
motivasi untuk sukses, (9) berusaha keras untuk hidup hemat dan investasi, (10)
menghargai waktu, (11) sabar dan tidak mudah mengeluh.
Kalau dicermati sebelas karakter
bangsa maju tersebut sebenarnya sudah tertuang di dalam tujuan pendidikan
nasional yang tertuang pada Bab II pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, yaitu : pendidikan nasional bertujuan untuk membentuk peserta didik (1) berwatak
dan beradab, (2) cerdas, (3) beriman dan betakwa, (4) berakhlak mulia, (5)
sehat, (6) berilmu, (7) cakap, (8) kreatif, (9) mandiri, (10) demokratis, dan
(11) bertanggung jawab.
Oleh karena itu pendidikan
harus seimbang antara pengembangan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Bahkan
pengelolaan pendidikan harus lebih banyak memberikan program pengembangan nilai-nilai
sikap dan kepribadian, di samping pengembangan aspek pengetahuan dan
keterampilan peserta didik mengingat pengalaman dan data empiris bahwa sikap hidup/etos kerja lebih dominan
mengantar sukses seseorang.
Penanaman
sikap akan efektif jika dimulai sejak usia dini. Saat ini pendidikan usia dini
sering kali terabaikan dan dipandang tidak penting. Kenyataannya di
kota-kota tengah terjadi anak usia dini lebih
banyak dididik oleh para baby sitter atau “pembantu rumah tangga”. Ini sedang
menggejala seiring dengan terbuka peluang kaum ibu berkarir di luar rumah. Pada
usia remaja, anak dihadapkan pada pergaulan luar rumah yang juga tidak
kondusif. Minimnya keteladanan di masyarakat membuat anak belajar di dua sisi yang berbeda, di sekolah/rumah
ditebarkan dan diajarkan nilai-nilai kebenaran dan tata krama yang baik namun
di luar rumah mereka melihat kehidupan yang “bebas” nilai. Akhirnya pada usia
dewasa generasi kita menjadi manusia yang lebih banyak menuntuk haknya ketimbang melaksanakan kewajibannya.
Bagaimana Sikap Guru?
Pada situasi dan kondisi ini guru
Indonesia memiliki tugas yang sangat berat apalagi tugas besar memenangkan
persaingan dunia terutama saat penduduk Indonesia di mana usia produktif berada
pada komposisi terbesar. Guru Indonesia harus terus ditingkatkan kompetensinya.
Undang-undang telah mengatur bagaimana guru harus menguasai kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, dan kompetensi
profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa
seseorang peserta didik harus diutamakan pengembangan aspek sikapnya, maka guru
pun seharusnya ditekankan pada aspek kepribadian seorang guru. Kode etik guru
menyebutkan bahwa seorang guru adalah sosok yang harus selalu dapat “digugu”
dan “ditiru” dalam situasi dan kondisi apa pun , artinya sosok guru adalah
seseorang yang harus tampil menjadi teladan di mana saja berada. Masyarakat pun
hingga saat ini menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap guru yang menjadi
teladan.
Dalam situasi sekarang ini keberadaan
guru menjadi tidak mudah. Kepribadian guru dituntut agar senantiasa tampil
sebagai sosok yang ideal sebagai seorang agen perubahan, baik dari aspek
keilmuan maupun aspek sikap. Pergeseran tata nilai akibat pengaruh global tidak
semua bernilai positif bahkan cenderung negatif yang mempengaruhi tata nilai,
kebiasaan, dan tingkah laku peserta didik.
Kondisi ini menunut guru untuk selalu beradaptasi dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta memahami nilai-nilai global agar mampu
memberikan solusi terhadap permasalahn internal peserta didik.
Oleh karena itu seorang guru wajib melakukan refleksi akan
tugas-tugasnya untuk kembali membuat komitmen terhadap tugas sebagai guru.
Komitmen tugas sebagai guru ini sangat penting sebagai bekal guru di
tengah-tengah budaya negatif yang berkembang sebagaimana kondisi faktual yang
disebutkan di atas, sehingga guru dapat berdiri kokoh di tengah-tengah situasi
yang perlu dibenahi.
Sebagai wujud adanya komitmen tugas guru maka seorang guru
perlu membekali diri dan bersedia untuk bersikap : (1) memiliki pengetahuan
agama yang luas dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara aktif;
(2) meningkatkan kualialitas keilmuan secara berkelajutan; (3) zuhud dalam
kehidupan, mengajar dan mendidik untuk mencari ridho Allah swt; (4) bersih
jasmani dan rohani; (5) pemaaf, penyabar, dan jujur; (6) berlaku adil terhadap
peserta didik dan semua stakeholders pendidikan, (7) memiliki watak dan sikap
robbiniyah (pendidik) yang tercermin dalam pola piker, ucapan, dan tingkah
laku; (8) tegas bertindak, professional, dan proporsional; (9) tanggap terhadap
berbagai kondidisi dan perubahan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan,
dan pola pikir peserta didik; dan (10) menumbuhkan kesadaran diri sebagai
penyampai kebenaran (da’i).
Ternyata tugas guru dan tantangan tugas sebagi
guru tidaklah mudah. Di depan mata para guru terhampar tantangan. Namun dengan memperkuat komitmen dan meningkatkan
kompetensi kita berharap tugas mulia itu bisa ditunaikan. Wallahu a’lam
bishawab. (Jkt : 06102102).