Kamis, 10 Januari 2013

MENCETAK GENERASI EMAS

MENGHARAPKAN GENERASI EMAS MELALUI KIPRAH GURU
 (Wurdono : Jakarta)

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2012, Mendikbud telah menyatakan bahwa kurun waktu 2010 hingga 2035 bangsa Indonesia akan dianugerahi karunia sumber daya manusia, berupa populasi usia produktif yang jumlahnya besar. Jika kesempatan emas yang baru pertama kalinya terjadi sejak Indonesia merdeka tersebut, dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, populasi usia produktif  tersebut, maka akan menjadi bonus demografi yang sangat berharga. 
Perlu ada upaya sistematis dan terencana agar penduduk dengan populasi  usia produktif yang besar  tersebut menjadi  keunggulan bangsa Indonesia di mata dunia. Perlu keberpihakan pengambil kebijakan dalam mengalokasikan sumber daya agar berpihak kepada program untuk mempersiapkan generasi muda agar menjadi generasi yang terdidik, cakap, terampil, dan memiliki etos dan sikap hidup yang baik. Dalam situasi sekarang ini, persaingan semakin tajam. Dalam persaingan ada pihak yang menang dan ada yang kalah meskipun akhirnya ada “win-win solution” namun tetap saja ada perbedaan antara yang memenangkan persaingan dengan yang tidak mampu bersaing. Pemenang persaingan adalah mereka yang memiliki kompetensi yang cukup. Sebuah bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mencetak SDM yang kompeten yang akan memenangkan persaingan. Apalagi jelang 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia di mana populasi penduduknya mayoritas adalah usia produktif, jika usia produktif ini kurang kompeten maka malapetaka akan ditanggung oleh bangsa kita. Lalu bagaimanakah kondisi bangsa kita sekarang?

Kondisi Faktual
          Hingga saat ini patut prihatin menyaksikan kondisi bangsa Indonesia. Berdasarkan pengamatan dalam berbagai aspek, kondisi faktual bangsa kita saat ini dapat dilihat dari kondisi berikut ini : (1) Generasi yang daya imajinasi idealistiknya rendah; (2) Angkatan kerja yang tidak siap berkompetisi di era global; (3) Birokrasi yang lamban, korup, tidak kreatif; (4) Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair & apa adanya; (5) Masyarakat yang mudah bertindak anarkis; (6) Sumber daya alam (khususnya hutan) yang rusak parah; (7) Cendekiawan yang hipokrit; (8) Hutang luar negeri yang tak tertanggungkan; (9) Semakin banyaknya tokoh/pemimpin yang rendah moral; (10) Ego kedaerahan yang meluas di kalangan masyarakat.
Kondisi ini mengisyaratkan kearah potensi “kekalahan” dalam kompetisi global. Kondisi ini adalah buah dari sebuah proses panjang pendidikan bangsa ini yang tidak lahir begitu saja. Kondisi ini dibentuk oleh sebuah proses pendidikan formal, non formal, dan informal,  yang tumbuh dari akumulasi nilai-nilai local dan pengaruh budaya dunia, mengkristal menjadi sebuah kebiasaan sehingga berwujud menjadi perilaku dan  budaya .
Memperbaiki kondisi ini menjadi tugas bersama pengelola bangsa Indonesia, terutama para guru sebagai agen perubahan dan leading sector dalam pendidikan nasional, yang diberi amanah mendidik anak bangsa sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Upaya mencetak genarasi bangsa ini terletak pada pundak para pendidik khususnya guru,  meskipun orang tua peserta didik dan masyarakat juga memiliki tanggungjawab yang tidak kalah besar. Guru Indonesia yang telah menjadi pekerjaan profesi bertanggungjawab penuh terhadap masa depan pendidikan dan generasi bangsa Indonesia. Guru Indonesia menghadapi tantangan sekaligus peluang yang sama besarnya.

Bagaimana Mempersiapkan Generasi?
Melalui berbagai penelitian para ahli pendidikan dan psikologi bahwa keberhasilan seseorang pada umumnya tidak ditentukan oleh kecerdasan intelegensi semata, bahkan lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya. Daniel Goleman,  menyebutkan bahwa keberhasilan seseorang dalam hidup 20% ditentukan oleh kecerdasan inteligensinya (IQ) dan 80% ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya (EQ). Faktanya banyak tamatan sebuah sekolah/perguruan tinggi yang ketika sekolah/kuliah nilai akademisnya bagus ternyata ketika berkarir tidak lebih bagus ketimbang tamatan yang nilai akademisnya sedang-sedang saja.
Dalam konteks percaturan dunia,  secara umum kita melihat bahwa bangsa yang maju bukan ditentukan oleh kekayaan Sumber Daya Alamnya, umur bangsanya, agama bangsanya, warna kulitnya, atau bukan pula oleh kecerdasannya. Ternyata bangsa yang maju lebih banyak ditentukan oleh sikap hidup bangsanya, oleh etos kerja bangsanya.
Sikap/perilaku bangsa sebuah negara dibentuk oleh sikap/perilaku masyarakatnya yang dibentuk sepanjang masa melalui pendidikan dan kebudayaan. Sikap hidup negara maju pada umumnya mengikuti prinsip-prinsip kehidupan yang kondusif, seperti : (1) etika dalam hidup sehari-hari, (2) kejujuran dan integritas, (3) tanggung jawab, (4) memiliki etos kerja yang tinggi, (5) mencintai pekerjaan, (6) hormat pada aturan dan hukum masyarakat, (7) hormat pada hak orang lain, (8) memiliki motivasi untuk sukses, (9) berusaha keras untuk hidup hemat dan investasi, (10) menghargai waktu, (11) sabar dan tidak mudah mengeluh.
Kalau  dicermati sebelas karakter bangsa maju tersebut sebenarnya sudah tertuang di dalam tujuan pendidikan nasional yang tertuang pada Bab II pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu : pendidikan nasional  bertujuan untuk membentuk peserta didik (1) berwatak dan beradab, (2) cerdas, (3) beriman dan betakwa, (4) berakhlak mulia, (5) sehat, (6) berilmu, (7) cakap, (8) kreatif, (9) mandiri, (10) demokratis, dan (11) bertanggung jawab.
Oleh karena itu pendidikan harus seimbang antara pengembangan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Bahkan pengelolaan pendidikan harus lebih banyak memberikan program pengembangan nilai-nilai sikap dan kepribadian, di samping pengembangan aspek pengetahuan dan keterampilan peserta didik mengingat pengalaman dan data empiris  bahwa sikap hidup/etos kerja lebih dominan mengantar sukses seseorang.
          Penanaman sikap akan efektif jika dimulai sejak usia dini. Saat ini pendidikan usia dini sering kali terabaikan dan dipandang tidak penting. Kenyataannya di kota-kota  tengah terjadi anak usia dini lebih banyak dididik oleh para baby sitter atau “pembantu rumah tangga”. Ini sedang menggejala seiring dengan terbuka peluang kaum ibu berkarir di luar rumah. Pada usia remaja, anak dihadapkan pada pergaulan luar rumah yang juga tidak kondusif. Minimnya keteladanan di masyarakat membuat anak belajar di dua  sisi yang berbeda, di sekolah/rumah ditebarkan dan diajarkan nilai-nilai kebenaran dan tata krama yang baik namun di luar rumah mereka melihat kehidupan yang “bebas” nilai. Akhirnya pada usia dewasa generasi kita menjadi manusia yang lebih banyak menuntuk  haknya ketimbang melaksanakan kewajibannya.

Bagaimana Sikap Guru?
Pada situasi dan kondisi ini guru Indonesia memiliki tugas yang sangat berat apalagi tugas besar memenangkan persaingan dunia terutama saat penduduk Indonesia di mana usia produktif berada pada komposisi terbesar. Guru Indonesia harus terus ditingkatkan kompetensinya. Undang-undang telah mengatur bagaimana guru harus menguasai kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, dan kompetensi profesional. 
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa seseorang peserta didik harus diutamakan pengembangan aspek sikapnya, maka guru pun seharusnya ditekankan pada aspek kepribadian seorang guru. Kode etik guru menyebutkan bahwa seorang guru adalah sosok yang harus selalu dapat “digugu” dan “ditiru” dalam situasi dan kondisi apa pun , artinya sosok guru adalah seseorang yang harus tampil menjadi teladan di mana saja berada. Masyarakat pun hingga saat ini menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap guru yang menjadi teladan.
          Dalam situasi sekarang ini keberadaan guru menjadi tidak mudah. Kepribadian guru dituntut agar senantiasa tampil sebagai sosok yang ideal sebagai seorang agen perubahan, baik dari aspek keilmuan maupun aspek sikap. Pergeseran tata nilai akibat pengaruh global tidak semua bernilai positif bahkan cenderung negatif yang mempengaruhi tata nilai, kebiasaan, dan tingkah laku peserta didik.  Kondisi ini menunut guru untuk selalu beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memahami nilai-nilai global agar mampu memberikan solusi terhadap permasalahn internal peserta didik.
Oleh karena itu seorang guru wajib melakukan refleksi akan tugas-tugasnya untuk kembali membuat komitmen terhadap tugas sebagai guru. Komitmen tugas sebagai guru ini sangat penting sebagai bekal guru di tengah-tengah budaya negatif yang berkembang sebagaimana kondisi faktual yang disebutkan di atas, sehingga guru dapat berdiri kokoh di tengah-tengah situasi yang perlu dibenahi.
Sebagai wujud adanya komitmen tugas guru maka seorang guru perlu membekali diri dan bersedia untuk bersikap : (1) memiliki pengetahuan agama yang luas dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara aktif; (2) meningkatkan kualialitas keilmuan secara berkelajutan; (3) zuhud dalam kehidupan, mengajar dan mendidik untuk mencari ridho Allah swt; (4) bersih jasmani dan rohani; (5) pemaaf, penyabar, dan jujur; (6) berlaku adil terhadap peserta didik dan semua stakeholders pendidikan, (7) memiliki watak dan sikap robbiniyah (pendidik) yang tercermin dalam pola piker, ucapan, dan tingkah laku; (8) tegas bertindak, professional, dan proporsional; (9) tanggap terhadap berbagai kondidisi dan perubahan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola pikir peserta didik; dan (10) menumbuhkan kesadaran diri sebagai penyampai kebenaran (da’i).
Ternyata tugas guru dan tantangan tugas sebagi guru tidaklah mudah. Di depan mata para guru terhampar tantangan. Namun  dengan memperkuat komitmen dan meningkatkan kompetensi kita berharap tugas mulia itu bisa ditunaikan. Wallahu a’lam bishawab. (Jkt : 06102102).

Nengokin Cucu via Gambar

  Kakak dan adik itu sudah bisa bergaya, lihat si adik mengikuti gaya si kakak. Semoga slalu akur, dan menjadi anak-anak sholehah. Kecer...