Kamis, 10 Januari 2013

MENCETAK GENERASI EMAS

MENGHARAPKAN GENERASI EMAS MELALUI KIPRAH GURU
 (Wurdono : Jakarta)

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2012, Mendikbud telah menyatakan bahwa kurun waktu 2010 hingga 2035 bangsa Indonesia akan dianugerahi karunia sumber daya manusia, berupa populasi usia produktif yang jumlahnya besar. Jika kesempatan emas yang baru pertama kalinya terjadi sejak Indonesia merdeka tersebut, dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, populasi usia produktif  tersebut, maka akan menjadi bonus demografi yang sangat berharga. 
Perlu ada upaya sistematis dan terencana agar penduduk dengan populasi  usia produktif yang besar  tersebut menjadi  keunggulan bangsa Indonesia di mata dunia. Perlu keberpihakan pengambil kebijakan dalam mengalokasikan sumber daya agar berpihak kepada program untuk mempersiapkan generasi muda agar menjadi generasi yang terdidik, cakap, terampil, dan memiliki etos dan sikap hidup yang baik. Dalam situasi sekarang ini, persaingan semakin tajam. Dalam persaingan ada pihak yang menang dan ada yang kalah meskipun akhirnya ada “win-win solution” namun tetap saja ada perbedaan antara yang memenangkan persaingan dengan yang tidak mampu bersaing. Pemenang persaingan adalah mereka yang memiliki kompetensi yang cukup. Sebuah bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mencetak SDM yang kompeten yang akan memenangkan persaingan. Apalagi jelang 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia di mana populasi penduduknya mayoritas adalah usia produktif, jika usia produktif ini kurang kompeten maka malapetaka akan ditanggung oleh bangsa kita. Lalu bagaimanakah kondisi bangsa kita sekarang?

Kondisi Faktual
          Hingga saat ini patut prihatin menyaksikan kondisi bangsa Indonesia. Berdasarkan pengamatan dalam berbagai aspek, kondisi faktual bangsa kita saat ini dapat dilihat dari kondisi berikut ini : (1) Generasi yang daya imajinasi idealistiknya rendah; (2) Angkatan kerja yang tidak siap berkompetisi di era global; (3) Birokrasi yang lamban, korup, tidak kreatif; (4) Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair & apa adanya; (5) Masyarakat yang mudah bertindak anarkis; (6) Sumber daya alam (khususnya hutan) yang rusak parah; (7) Cendekiawan yang hipokrit; (8) Hutang luar negeri yang tak tertanggungkan; (9) Semakin banyaknya tokoh/pemimpin yang rendah moral; (10) Ego kedaerahan yang meluas di kalangan masyarakat.
Kondisi ini mengisyaratkan kearah potensi “kekalahan” dalam kompetisi global. Kondisi ini adalah buah dari sebuah proses panjang pendidikan bangsa ini yang tidak lahir begitu saja. Kondisi ini dibentuk oleh sebuah proses pendidikan formal, non formal, dan informal,  yang tumbuh dari akumulasi nilai-nilai local dan pengaruh budaya dunia, mengkristal menjadi sebuah kebiasaan sehingga berwujud menjadi perilaku dan  budaya .
Memperbaiki kondisi ini menjadi tugas bersama pengelola bangsa Indonesia, terutama para guru sebagai agen perubahan dan leading sector dalam pendidikan nasional, yang diberi amanah mendidik anak bangsa sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Upaya mencetak genarasi bangsa ini terletak pada pundak para pendidik khususnya guru,  meskipun orang tua peserta didik dan masyarakat juga memiliki tanggungjawab yang tidak kalah besar. Guru Indonesia yang telah menjadi pekerjaan profesi bertanggungjawab penuh terhadap masa depan pendidikan dan generasi bangsa Indonesia. Guru Indonesia menghadapi tantangan sekaligus peluang yang sama besarnya.

Bagaimana Mempersiapkan Generasi?
Melalui berbagai penelitian para ahli pendidikan dan psikologi bahwa keberhasilan seseorang pada umumnya tidak ditentukan oleh kecerdasan intelegensi semata, bahkan lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya. Daniel Goleman,  menyebutkan bahwa keberhasilan seseorang dalam hidup 20% ditentukan oleh kecerdasan inteligensinya (IQ) dan 80% ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya (EQ). Faktanya banyak tamatan sebuah sekolah/perguruan tinggi yang ketika sekolah/kuliah nilai akademisnya bagus ternyata ketika berkarir tidak lebih bagus ketimbang tamatan yang nilai akademisnya sedang-sedang saja.
Dalam konteks percaturan dunia,  secara umum kita melihat bahwa bangsa yang maju bukan ditentukan oleh kekayaan Sumber Daya Alamnya, umur bangsanya, agama bangsanya, warna kulitnya, atau bukan pula oleh kecerdasannya. Ternyata bangsa yang maju lebih banyak ditentukan oleh sikap hidup bangsanya, oleh etos kerja bangsanya.
Sikap/perilaku bangsa sebuah negara dibentuk oleh sikap/perilaku masyarakatnya yang dibentuk sepanjang masa melalui pendidikan dan kebudayaan. Sikap hidup negara maju pada umumnya mengikuti prinsip-prinsip kehidupan yang kondusif, seperti : (1) etika dalam hidup sehari-hari, (2) kejujuran dan integritas, (3) tanggung jawab, (4) memiliki etos kerja yang tinggi, (5) mencintai pekerjaan, (6) hormat pada aturan dan hukum masyarakat, (7) hormat pada hak orang lain, (8) memiliki motivasi untuk sukses, (9) berusaha keras untuk hidup hemat dan investasi, (10) menghargai waktu, (11) sabar dan tidak mudah mengeluh.
Kalau  dicermati sebelas karakter bangsa maju tersebut sebenarnya sudah tertuang di dalam tujuan pendidikan nasional yang tertuang pada Bab II pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu : pendidikan nasional  bertujuan untuk membentuk peserta didik (1) berwatak dan beradab, (2) cerdas, (3) beriman dan betakwa, (4) berakhlak mulia, (5) sehat, (6) berilmu, (7) cakap, (8) kreatif, (9) mandiri, (10) demokratis, dan (11) bertanggung jawab.
Oleh karena itu pendidikan harus seimbang antara pengembangan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Bahkan pengelolaan pendidikan harus lebih banyak memberikan program pengembangan nilai-nilai sikap dan kepribadian, di samping pengembangan aspek pengetahuan dan keterampilan peserta didik mengingat pengalaman dan data empiris  bahwa sikap hidup/etos kerja lebih dominan mengantar sukses seseorang.
          Penanaman sikap akan efektif jika dimulai sejak usia dini. Saat ini pendidikan usia dini sering kali terabaikan dan dipandang tidak penting. Kenyataannya di kota-kota  tengah terjadi anak usia dini lebih banyak dididik oleh para baby sitter atau “pembantu rumah tangga”. Ini sedang menggejala seiring dengan terbuka peluang kaum ibu berkarir di luar rumah. Pada usia remaja, anak dihadapkan pada pergaulan luar rumah yang juga tidak kondusif. Minimnya keteladanan di masyarakat membuat anak belajar di dua  sisi yang berbeda, di sekolah/rumah ditebarkan dan diajarkan nilai-nilai kebenaran dan tata krama yang baik namun di luar rumah mereka melihat kehidupan yang “bebas” nilai. Akhirnya pada usia dewasa generasi kita menjadi manusia yang lebih banyak menuntuk  haknya ketimbang melaksanakan kewajibannya.

Bagaimana Sikap Guru?
Pada situasi dan kondisi ini guru Indonesia memiliki tugas yang sangat berat apalagi tugas besar memenangkan persaingan dunia terutama saat penduduk Indonesia di mana usia produktif berada pada komposisi terbesar. Guru Indonesia harus terus ditingkatkan kompetensinya. Undang-undang telah mengatur bagaimana guru harus menguasai kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, dan kompetensi profesional. 
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa seseorang peserta didik harus diutamakan pengembangan aspek sikapnya, maka guru pun seharusnya ditekankan pada aspek kepribadian seorang guru. Kode etik guru menyebutkan bahwa seorang guru adalah sosok yang harus selalu dapat “digugu” dan “ditiru” dalam situasi dan kondisi apa pun , artinya sosok guru adalah seseorang yang harus tampil menjadi teladan di mana saja berada. Masyarakat pun hingga saat ini menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap guru yang menjadi teladan.
          Dalam situasi sekarang ini keberadaan guru menjadi tidak mudah. Kepribadian guru dituntut agar senantiasa tampil sebagai sosok yang ideal sebagai seorang agen perubahan, baik dari aspek keilmuan maupun aspek sikap. Pergeseran tata nilai akibat pengaruh global tidak semua bernilai positif bahkan cenderung negatif yang mempengaruhi tata nilai, kebiasaan, dan tingkah laku peserta didik.  Kondisi ini menunut guru untuk selalu beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memahami nilai-nilai global agar mampu memberikan solusi terhadap permasalahn internal peserta didik.
Oleh karena itu seorang guru wajib melakukan refleksi akan tugas-tugasnya untuk kembali membuat komitmen terhadap tugas sebagai guru. Komitmen tugas sebagai guru ini sangat penting sebagai bekal guru di tengah-tengah budaya negatif yang berkembang sebagaimana kondisi faktual yang disebutkan di atas, sehingga guru dapat berdiri kokoh di tengah-tengah situasi yang perlu dibenahi.
Sebagai wujud adanya komitmen tugas guru maka seorang guru perlu membekali diri dan bersedia untuk bersikap : (1) memiliki pengetahuan agama yang luas dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara aktif; (2) meningkatkan kualialitas keilmuan secara berkelajutan; (3) zuhud dalam kehidupan, mengajar dan mendidik untuk mencari ridho Allah swt; (4) bersih jasmani dan rohani; (5) pemaaf, penyabar, dan jujur; (6) berlaku adil terhadap peserta didik dan semua stakeholders pendidikan, (7) memiliki watak dan sikap robbiniyah (pendidik) yang tercermin dalam pola piker, ucapan, dan tingkah laku; (8) tegas bertindak, professional, dan proporsional; (9) tanggap terhadap berbagai kondidisi dan perubahan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola pikir peserta didik; dan (10) menumbuhkan kesadaran diri sebagai penyampai kebenaran (da’i).
Ternyata tugas guru dan tantangan tugas sebagi guru tidaklah mudah. Di depan mata para guru terhampar tantangan. Namun  dengan memperkuat komitmen dan meningkatkan kompetensi kita berharap tugas mulia itu bisa ditunaikan. Wallahu a’lam bishawab. (Jkt : 06102102).

Selasa, 08 Januari 2013

PEMBINAAN REMAJA


AKHLAKUL KARIMAH : SOLUSI MENGATASI PERMASALAHAN REMAJA
(Wurdono/DKM Al-Barkah, Kelapa Dua)

Pengantar 

Sejak zaman dahulu sampai sekarang remaja selalu menjadi pusat perhatian setiap komponen masyarakat seperti orang tua, organisasi sosial, agama, masyarakat umum, dan lainnya. Bahkan remaja menjadi perhatian  bangsa dan negara di mana pun. Besarnya perhatian dari berbagai kalangan ini disebabkan karena banyaknya ekspektasi (harapan) dari berbagai kalangan dengan banyaknya potensi yang dimiliki oleh remaja.

Harapan-harapan itu  di antaranya,  orang tua berharap remaja menjadi anak yang berbakti dan pahlawan keluarga. Pendidik berharap agar remaja menjadi anak  yang cerdas (intelek) dan bermoral. Agama berharap remaja menjadi orang yang beriman dan bertaqwa serta berahlak mulia. Masyarakat umum berharap agar remaja menjadi calon pemimpin dalam organisasi, menjadi pencipta kedamaian dan ketertiban. Sedangkan harapan bagi bangsa dan negara adalah pelanjut pembangunan bangsa ke depan yang berkualitas, kontrol sosial agen perubahan, atau pelopor dan pelaksana kegiatan yang berbasis kemasyarakatan dan umat.

Namun kenyataannya remaja sering kurang menyadari potensi dirinya yang begitu besar, sering melakukan penyimpangan perilaku berupa premanisme, hura-hura, konsumsi obat-obat terlarang, seks bebas, tawuran, dan lain-lain.

Untuk mewujudkan harapan- harapan tersebut di atas, perlu langkah-langkah strategis. Upaya-upaya yang dilakukan selama ini misalnya, menekankan pembinaan remaja di lingkungan keluarga dan melalui pendidikan formal (sekolah). Di samping itu, pemerintah juga giat mengadakan seminar atau pelatihan mengenai remaja dan membentuk organisasi remaja di bawah naungan instansi tertentu. Demikian pula masyarakat umum membentuk berbagai macam lembaga atau organisasi pemuda, baik yang berciri sosial kemasyarakatan, pendidikan, agama, politik, maupun lembaga pemuda yang bercirikan aliran tertentu.

PENGERTIAN REMAJA

Dalam berbagai literatur definisi tentang remaja bermacam-macam, namun secara sederhana orang menyebutkan bahwa remaja itu  adalah manusia yang berada pada batas usia sesudah masa anak-anak dan belum dewasa. Batasan  remaja menurut usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Ada juga yang membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun.

Ada juga yang membagi remaja berdasarkan kelompok, yaitu :
a.      Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun
b.      Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun
c.       Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.
Usia sesudah remaja adalah pemuda. Usia pemuda ada yang menyebutkan antara 20 sampai dengan 40 tahun.

Apapun definisinya, yang terpenting  perlu diketahui bersama bahwa masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak akan menuju ke masa dewasa, karena itu memiliki banyak permasalahan yang disebabkan oleh adanya tuntutan psikologis dan biologis. Karena itu perlu penanganan secara bersama-sama oleh semua unsur masyarakat.

MASALAH-MASALAH REMAJA

Ada minimal tiga badai yang akan mengguncang masa remaja ini. Pertama, badai otoritas. Pada masa ini remaja cenderung bersikap mudah terpengaruh (dependen). Remaja akan banyak diterpa oleh otoritas-otoritas lain yang mampu memengaruhi sikapnya. Independensi didapat melalui penghargaan atas otoritas orang tua, teman sebaya, guru maupun orang yang dituakan. 

Kedua, badai rangsangan emosi. Remaja menunjukkan emosi yang labil sehingga mudah dipengaruhi oleh rangsangan emosi di luar dirinya. Remaja akan terdorong bertindak agresif hanya dengan dipanas-panasi oleh teman sepermainannya. Ketiga, badai ego. Remaja cenderung menunjukkan keakuannya pada orang lain. Kebutuhan untuk diakui bisa menjerat remaja pada tindakan yang dilarang oleh norma. Dengan kata lain, remaja bisa saja melakukan tindakan yang melanggar norma asal dirinya bisa diakui oleh orang lain. Tiga badai di atas sangat memungkinkan remaja terantuk pada posisi oleng : melakukan berbagai perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang ada di masyarakat.

Pada zaman ini, ada badai besar yang bisa menggulung siapa saja yang tidak cakap mengendalikannya, yakni badai informasi. Memang, tidak hanya remaja saja yang akan terpengaruh oleh badai informasi ini. Tapi, badai informasi akan melengkapi ancaman tiga badai seperti tersebut di atas. Ciri adanya badai ini adalah makin tidak terbendungnya arus informasi seiring dengan makin mudah didapatnya teknologi informasi. Remaja bisa dengan mudah memamah informasi tentang apapun. Bisa dipastikan, hampir semua remaja di kota sudah familier dengan handphone, bahkan bisa berganti-ganti model sesuai tren terbaru. Internet sudah bisa diakses sampai ke pelosok, di mana saja dan kapan saja. Internet menyediakan beragam informasi dan pengetahuan sesuai kebutuhan penggunanya hanya dengan satu dua kali menekan tuts keyboard. Televisi menjadi penyedia layanan informasi yang paling banyak dikonsumsi, terlebih banyak handphone yang sudah memiliki fasilitas gambar hidup itu. Media cetak beragam jumlahnya dan mampu memenuhi beragam hobi dan minat setiap orang.

Derasnya informasi yang mengalir ke segala penjuru ruang sosial di masyarakat tentunya akan memengaruhi pengguna informasi itu. Informasi yang dikenyam akan memengaruhi cara pandang, sikap, perilaku, gaya hidup, dan kebiasaan seseorang. Sebagai misal, belajar tidak harus tatap muka langsung dalam kelas tapi bisa dengan jarak jauh via internet (e-learning). Berdiskusi tidak harus bersua langsung tapi bisa lewat mailinglist. Belanja tidak harus ke supermarket tapi tapi dapat dilakukan dalam kamar dengan menggunakan jasa belanja online. Berkirim kabar tidak lagi harus pakai surat via pos tapi bisa langsung pakai layanan pesan singkat (sms) atau e-mail.

Sikap yang menyimpang akibat pengaruh badai tersebut di atas dapat diinventarisasi dalam berbagai kasus seperti (1) tawuran antar remaja/ pelajar, (2) arogansi, (3) hura-hura, (3) geng, (4) tindak kriminal, (5) melawan aturan/ hukum, (6) seks/ pergaulan bebas, (7) minuman keras, (8) obat terlarang, (9) berbohong, (10) meninggalkan tugas/ kewajiban, dan lain-lain.

PEMBINAAN AKHLAK SEBAGAI SOLUSI TERHADAP PERMASALAHAN REMAJA

Banyaknya permasalahan remaja, perlu disadari oleh remaja. Bahwa badai-badai permasalahan yang terus mengikis nilai-nilai idealisme, nilai-nilai kebenaran, harus dicegah sehingga masa depan remaja akan cerah sebagaimana harapan orang tua, guru, agama, masyarakat, bahkan bangsa dan negara. Remaja perlu merefleksikan/ merenungkan masa depannya dan perlu bangkit, semangat, untuk menjemput masa depan cerah yang terhampar luas. Jalan keluar menjemput masa depan cerah tersebut melalui jalan agama, melalui perbaikan akhlak.

Mengapa harus akhlak? Rasulallah SAW bersabda : “Hanya saja aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak” (HR : ……..). Pada hadits lain disebutkan : “Tidak beragama bagi orang yang tidak baik akhlaknya” (HR :….). Jika difahami kedua hadits ini maka fungsi utama agama (Islam) adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. 

Akhlak diartikan dengan prilaku seseorang secara spontan dengan dilandasi oleh nilai-nilai agama. Nilai-nilai yang melekat pada akhlak dilandasi oleh nilai-nilai agama, sehingga akhlak akan bersifat universal dan permanen. Hal ini berbeda dengan moral yang lebih bersifat lokal, dengan nilai-nilainya dilandasi oleh budaya dan adat istiadat, karena itu moral cenderung bersifat lokal dan mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman. Contoh, dalam berpakaian menurut ajaran Islam (akhlak) bahwa berpakaian itu harus menutupi aurat. Pernyataan ini selain menutup bagian-bagian yang secara syar’I harus ditutup pakaian juga tidak boleh menampakkan lekuk tubuh. Tentang model pakaian diserahkan kepada zamannya. Sedangkan menurut moral, pakaian itu yang penting pantas sesuai adat istiadat dan budaya di mana manusia itu hidup. Maka tidak heran jika pakaian manusia primitive cukup memakai sehelai kain atau hanya memakai koteka. Bahkan karena moral ini tergantung pada budaya maka tidak menutup kemungkinan suatu saat manusia berpakaian seperti zaman primitive dahulu kala.

Perhatikan firman Allah SWT : “Dan janganlah kamu campakan
dirimu ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri. Dan
berbuat baiklah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik”. (QS . 2:195.

1.      Akhlak terhadap Allah SWT
Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya , Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal ini mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah-lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.
Jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain. Diantara akhlak terhadap Allah SWT adalah :

a. Taat terhadap perintah-perintah-Nya
Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia tidak mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada dirinya. Allah berfirman (QS.4:65): “Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Karena taat kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seorang muslim kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya keimanan. Dalam sebuah hadits, Rosulullah SAW juga menguatkan makna ayat di atas dengan bersabda (yang artinya): “Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang dariku (Al-Qur’an dan Sunnah).” (HR.Abi Ashim al-syaiban)

b. Memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya.
Rasulullah SAW pernah bersabda (yang artinya):
Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda (yang artinya),
“ Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya”.(HR. Muslim)

c. Ridha terhadap ketentuan Allah SWT.
Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah ridha terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun oleh keluarga yang tidak mampu, bentuk fisik yang Allah berikan padanya, atau hal-hal lainnya.

d. Senantiasa bertaubat kepada-Nya.
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika kita kepada Allah, manakala sedang terjerumus dalam ‘kelupaan’ sehingga berbuat kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat kepada Allah SWT. Dalam al-Qur’an Allah berfirman(QS.3:135):
“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.”

e. Obsesinya adalah keridhaan Ilahi.
Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, akan memiliki obsesi dan orientasi dalam segala aktivitasnya, hanya kepada Allah SWT.

f. Merealisasikan ibadah kepada-Nya.
Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. baik ibadah yang bersifat mahdhah, atauppun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena pada hakekatnya, seluruh aktivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT. dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS.51:56):
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”

g. Banyak membaca Al-Qur’an.
Etika dan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan firman-firman-Nya. Seseorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya.
 
2. Akhlak terhadap Rasulallah SAW
Seorang muslim meyakini bahwa Rasulallah, Muhammad SAW, adalah seorang manusia agung yang maksum. Beliau yang membawa ajaran yang benar yang menuntun manusia ke dalam keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu seluruh ucapannya dan perbuatannya harus kita jadikan rujukan dalam beribadah dan bermuamalah.
Beliau telah menjelaskan seluruh ajaran yang Allah wahyukan kepadanya. Tidak satu pun ajaran yang membawa manusia ke surge atau peringatan masuk neraka melainkan telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kita tidak boleh menambah-nambah amalan dan tata cara beribadah tanpa contoh darinya. Apalagi kita berkata dusta atas namanya, ancamannya adalah hukuman yang sangat berat yaitu siksa neraka.

3.    Akhlak terhadap Kedua Orang Tua
Mengingat keterbatasan waktu maka akhlak kepada kedua orang tua  didahulukan pembahasannya. Hal ini dikarenakan pentingnya seorang remaja memiliki akhlak  mulai terhadap kedua orang tuanya.
“Ridho Allah adalah ridho kedua orang tuanya dan murka Allah karena murka kedua orang tuanya”.

Begitu terhormatnya kedudukan orang tua maka Allah melarang seorang anak hanya berkata “Uh..” kepada kedua orang tuanya. “(QS. 17 : 23-24). Dan janganlah kamu berkata ufh, dan katakanlah …..” 
  •      Patuh dan taat kepada perintahnya
  •      Hormat dan merendahkan suara saat berbicara 
  •           Merawat kedua orang tua saat mereka sudah tua   
  •      Selalu mendoakan kedua orang tua


Ada dosa yang sanksinya didahulukan di dunia  ini, yaitu durhaka kepada kedua orang tua. (Wallahu’alam bishshawab)
           

Nengokin Cucu via Gambar

  Kakak dan adik itu sudah bisa bergaya, lihat si adik mengikuti gaya si kakak. Semoga slalu akur, dan menjadi anak-anak sholehah. Kecer...